Senin, 14 Desember 2020

Pemikiran Ibnu Sina -Quotes

Pemikiran Ibnu Sina

Sebagaimana Al Farabi, Ibnu Sina juga menyatakan bahwa manusia terdiri atas unsur jiwa dan jasad. 

Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktivitas. 

Jasad selalu berubah, berganti, bertambah, dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. 

Dengan demikian, hakikat manusia adalah jiwanya dan perhatian para filsuf islam dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya daripada jasadnya.

Jumat, 07 Februari 2020

Ketika Aktivis Jatuh Cinta

Author : Ahmad Satria

Opini: Apa daya prasaan tak bisa tertahan, fikiran pun malayang lewat tulisan. Dengan mulut terkunci hatipun akhirnya bercerita. Berbicara cinta antara lelaki dan perempuan. Ketika kalian mencintai namun dalam posisi jauh itu lebih mudah dalam menjaganya, tetapi coba bayangkan jika orang yang kita cintai ada di dekat kita, di hadapan kita dan kita harus seperti orang biasa saja tidak ada suatu hal yang terjadi pada kita dan oarang yg di hadapan kita walaupun dia adalah yang kamu cintai. Hal itu lebih sulit dan lebih berat karena bagaimana kita menutupi diri menjaga diri agar ketika ada orang lain akrab dengan dirinya ataupun diri kita, dia tak marah dan kita juga tak marah pada dia. Berbicara tentang hal tersebut hanya terjadi pada seorang aktivis yang romantis, menyimpan hati untuk kemajuan organisasi.

Untuk bintang yang malam ini terlihat penuh pesona, apakah kau yang ada disana pun melihatnya?
Malam adalah kenyataan diamana kita sadar akan betapa butuhnya kita akan cahaya. Sadarkah kisah cinta kita, kamu kalian lebih indah daripada apa yang kalian lihat di tayangan FTV Di Televisi. lebih indah dan lebih mengharukan daripada film Ada Apa Dengan Cinta, lebih mengharukan keteka dilan menggombal kepada milea saat ia pulang pergi ke sekolah.
Sadarkah itu?

Wahai perempuan dan laki-laki penghuni cinta. Pandai pandailah menyimpan hati dan meyimpan perasaan, walaupun itu berat rasanya dan terkadang kita yang tersakiti. Iya kita laki-laki terkadang lebih tersakiti bagaimana tidak. Ketika rasa telah melonjak, hati tak lagi mampu bergumam apadaya mulut telah terkunci, hanya jemari yang mampu mengabari, namun pegangabaian tulisan kabar itu sering tak terbalaskan hal itu yang sedikit menambah kesukaan padamu (perempuan).

Mungkin kita sering berfikir terbalik dari salah menjadi benar dari pengabaian yang dianggap itu tak serius dan serius itu hanya bercandaan. Namaun kau pun menyadari kalian (perempaun) mahluk yang dapat menahan dan bertahan dalam suatu kondisi, yang membuat kita tak mampu masuk dalam isi hatimu, kecuali kau memberi celah walaupun sedikit, dan siapa yang duluan masuk itulah yang kau menangkan, bukan siapa yang lama menantimu dan memperhatikanmu.

Adam dan hawa sosok yang menginspirasi cinta di dunia, seberapapun jarak memisahkan mereka saling mencari. Namun sadarkah dengan diri kita sendiri, sudah dekat bukan saling mencari namun saling menahan diri dan itu lebih pandai bermain hati artinya. Tetapi, ketika kita saling menahan pasti saja ada yang mengkhianati, namun laki-laki seperti kita (penjaga perasaan) tak jarang mengkhianati seringnya bahkan terkhianati. Lalu apa yang kamu mau wahai keturunan Hawa? 
KESETIAAN atau KENYAMANAN.?

Kamis, 02 Januari 2020

Menjunjung Tinggi Keislaman Di Dalam Dunia Pergerakan

••••_Ridho (Kader PMII Ibnu Sina)

Opini: Pergerakan  terdiri dari dua kata yakni pergerakan. Maksud dari kata “Pergerakan” disini mencakup segala macam aksi dengan memakai “organisasi” untuk membangkang penjajahan dan menjangkau kemerdekaan. Dengan organisasi ini menunjuk bahwa aksi tersebut dibentuk secara teratur, dalam makna ada pemimpinnya, anggota, dasar, dan destinasi yang hendak dicapai. Adapun  Istilah “Nasional” menunjuk sifat dari pergerakan, yakni seluruh aksi dengan organisasi yang merangkum semua aspek kehidupan, laksana ekonomi, sosial, politik, budaya, dan kultural.
  Dengan demikian dapat diputuskan bahwa Pergerakan nasional ialah suatu format perlawanan terhadap untuk kaum penjajah yang dilakukan tidak dengan memakai kekuatan bersenjata, tetapi memakai organisasi yang bergerak di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Demikian halnya dengan pergerakan nasional yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya, berdirinya organisasi ini tidak ditujukan guna perlawanan terhadap kaum penjajah, namun organisasi-organisasi itu pada dasarnya didirikan dalam upaya menambah kesejahteraan rakyat yang merasakan penderitaan dampak penjajahan, tetapi pada kesudahannya bertujuan guna mewujudkan kemerdekaan. Hal yang demikian ini pula yang menjadi faktor mula berdirinya sekian banyak  macam organisasi pergerakan nasional di Indonesia.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi dari teori penggerakan (motivating) : 

1. Terry mengatakan bahwa Pergerakan (Motivating) merupakan usaha untuk menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa sehingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan anggota perusahaan tersebut oleh karena anggota itu inginmencapaisasarantersebut.
2. Mitchel berpendapat bahwa Motivasi mewakili proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya dan terjadinya persistensi kegiatan sukarela yang diarahkan ke arah tujuantertentu. 

3. Robbin mendefinisikan Motivasi sebagai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan organisasi yang di kondisi oleh kemampuan, upaya demikian untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu

●KEISLAMAN DAN PERGERAKAN UNTUK  KEPEMIMPINAN BANGSA
   Dalam KBBI, nasionalisme didefinisikan sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri . Nasionalisme juga didefinisikan sebagai semangat kebangsaan, yaitu kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Rasa cinta terhadap tanah air sejatinya adalah fitrah manusia sebagaimana kecintaan terhadap keluarga. Dan Islam datang sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, karenanya mustahil bertentangan dengan nilai cinta tanah air. Nasionalisme hadir untuk mengikis semangat kesukuan dan memperkuat ikatan masyarakat. Dan Islam telah melakukannya sebelum istilah nasionalisme ada. 
       Di Madinah, beragam suku mulai dari Quraisy, Aus, Khazraj, hingga suku-suku beragama Yahudi dan Nasrani menandatangani Piagam Madinah yang salah satu klausulnya adalah bersatu mempertahankan Madinah dari serangan luar. Itu adalah nasionalisme. Mempererat tali persaudaraan dan mempersatukan dengan tetap menjaga eksistensi dari keragaman suku dan bangsa, itulah Islam. 
      Nasionalisme menurut Soekarno akan membentuk rasa percaya diri dan merupakan esensi mutlak jika kita mempertahankan diri dalam perjuangan melawan kondisi-kondisi yang menyakitkan. Ya, sebagaimana Islam, nasionalisme sejatinya hadir untuk membebaskan. Revolusi perlawanan rakyat atas hegemoni kaum aristrokat dan anti dominasi gereja di Eropa abad ke-18 adalah nasionalisme yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana para pahlawan pejuang kemerdekaan sejak zaman kerajaan dahulu berperang untuk mengusir penjajah. Perlawanan lokal dan sporadis yang gagal mengusir penjajah kemudian bertransformasi menjadi gerakan nasional yang terorganisir. Itulah nasionalisme. Namun Islam memang berbeda dengan nasionalisme, terutama dalam aspek ruang lingkup dan orientasi. 
     Nasionalisme masih tersekat oleh batas geografis sementara Islam borderless. Kesetiaan tertinggi seorang nasionalis adalah pada bangsa dan Negara, sementara kesetiaan tertinggi seorang muslim adalah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Islam, kesetiaan terhadap pemimpin ataupun wilayah geografis tertentu haruslah dalam kerangka ketaatan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Itulah semangat nasionalisme untuk mengusir penjajah versi Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin dan banyak pejuang Islam lainnya di nusantara. H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Serikat Islam menyatakan bahwa Islam adalah “faktor pengikat dan simbol nasional”. 
     Perbedaan antara Islam dan nasionalisme bukan untuk dipertentangkan, melainkan diposisikan dengan tepat untuk membangun kepemimpinan nasional yang kuat. Semangat spiritualitas dan religiusitas Islam yang bersifat universal seharusnya diposisikan sebagai fondasi dengan semangat kebangsaan (nasionalisme) sebagai (salah satu) tiangnya. Tiang nasionalisme tanpa fondasi religiusitas akan mendorong pada primordialisme, chauvinisme, bahkan fasisme. 
      Kecintaan terhadap tanah air yang berlebihan dan tidak didasari spiritualitas yang kuat akan berujung kepongahan, merendahkan bangsa lain, bahkan dalam titik ekstrim justru akan memicu terjadinya imperialisme dan penjajahan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan nasionalisme itu sendiri. Dalam skala yang lebih kecil, ‘nasionalisme buta’ akan mematikan logika dan berpikir kritis. Padahal kemerdekaan sebagai buah dari semangat kebangsaan menghendaki kekuatan untuk berdiri sendiri. Berdikari dalam berpikir dan bertindak. Karenanya, tiang nasionalisme yang berdiri di atas landasan religiusitas ini harus berdekatan dengan tiang kemandirian menuju Indonesia berdaya. Tidak cukup hanya merdeka dan bersatu, tetapi juga harus berdaulat, adil dan makmur. 
   Kepemimpinan bangsa yang kuat tidak dapat dipisahkan dari kemampuan untuk berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Semangat kebangsaan dan kemandirian tanpa fondasi keislaman akan mendorong pada kebebasan tanpa batas, pun harus mengorbankan orang banyak. Lihatlah bagaimana ekspansi negara-negara Eropa di masa penjajahan, yang alih-alih berdaya malah memperdaya. Berdikari adalah berdiri di atas kaki sendiri bukan berdiri di atas kesulitan orang lain. Karenanya, tiang nasionalisme dan kemandirian harus pula disertai dengan tiang kepedulian. Berlandaskan perikemanusiaan. Karena memang tidak cukup hanya dengan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Selain makhluk pribadi, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya akan selalu berinteraksi dengan orang lain. 
      Dalam skala yang lebih besar, suatu bangsa juga selalu butuh untuk membangun hubungan dengan orang lain. Sadar dan peduli bahwa keberadaannya merupakan satu entitas dari komunitas yang lebih luas. Pun demikian dalam konteks kepemimpinan, selalu erat kaitannya dengan aspek pelayanan dan motivasi kepedulian. Shalat yang berdimensi pribadi harus disertai dengan zakat yang berdimensi sosial. Kemandirian sejati adalah mampu memandirikan orang lain, berdaya adalah mampu memberdayakan orang lain. Bagaimanapun, iman yang abstrak harus disertai amal shalih yang konkret. Semangat kebangsaan juga bukan semata jargon, apalagi kemandirian dan kepedulian yang jelas-jelas harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Karenanya, fondasi keislaman beserta tiang-tiang kebangsaan, kemandirian dan kepedulian ini harus mewujud menjadi sesuatu yang lebih tampak dan terukur.
       Hal tersebut adalah kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan ataupun sikap. Suatu urusan yang dikerjakan oleh orang yang tidak berkompeten hanya akan berujung kepada kehancuran. Karenanya pemimpin haruslah memiliki kompetensi yang mumpuni. Tidak harus sempurna, tetapi kompetensinya sesuai dengan kebutuhan, level dan lingkup amanah serta kekhasan dari kepemimpinan yang diemban. Kepemimpinan ideal yang didambakan oleh seorang muslim harus berlandaskan fondasi keislaman, Islam yang pertengahan, tidak terlalu kaku tetapi tidak pula terlalu cair. Islam yang menginspirasi dan mencerahkan, tidak taqlid buta namun tidak pula mendewakan akal. Islam yang seimbang, bijak dalam merespon kondisi kekinian dan menghargai berbagai perbedaan. Islam yang bukan hanya baik dalam aspek keimanan dan ibadah, namun kehadirannya mampu menebar kebermanfaatan yang luas. Islam yang dapat menjadi Rahmat bagi semesta alam. Untuk menghadapi tantangan kepemimpinan Islam, fondasi ini perlu diperkokoh dengan semangat kebangsaan yang mempersatukan elemen bangsa guna mencapai cita bersama. 
      Kedaulatan dan independensi bangsa juga perlu diperkuat dengan semangat kemandirian untuk menghapus segala ketergantungan. Kontribusi kemanusiaan yang dilandasi semangat kepedulian juga akan memperkokoh bangunan kepemimpinan. Fondasi dan tiang-tiang kepemimpinan ini kemudian harus dilengkapi dengan rangka atap berupa kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan menunjang terlaksananya fungsi kepemimpinan secara utuh demi kejayaan negeri tercinta. Negeri itu bernama Indonesia. Negeri yang kuat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai perbedaan yang ada akan kian memperindah khazanah bangsa. Negeri yang satu, terikat dalam cita wawasan nusantara.
      Bangsa yang utuh dan tak terpisah-pisahkan. Bangsa besar yang mampu berdiri sendiri. Negeri yang ramah, gemar menolong dan penuh tenggang rasa. Negeri dimana Islam yang juga bermakna damai penuh keselamatan, akan menjadi penguat negeri itu. Bukan hanya secara kuantitas, tetapi melakukan banyak perbaikan kualitas. Selamanya menjadi penguat, pun ketika berbagai ujian menerpa dan duka melanda. Senantiasa menjadi solusi untuk menjawab kompleksitas permasalahan bangsa. Terus menjadi cahaya yang mengantarkan bangsa Indonesia mencapai cita mulia. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” (Pembukaan UUD RI 1945).

Penulis : Ridho SbY (Sekertaris Kaderisasi)

SEKOLAH KADERISASI RAYON IBNU SINA

  (e-koran rayon ibnu sina) Edisi:013 Pengurus Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ibnu Sina ke 15 Komisariat UIN Mataram Men...